Aku tidak menyangka kalau menulis
bisa membuat ketagihan seperti ini. Galau rasanya jika pemikiran di kepala
belum tertuang. Mungkin itulah yang dirasakan oleh para penulis top, dimana
mereka selalu merindukan untuk menulis. Yaaaahhh... kalau untukku yang baru
belajar menulis, cukup dengan menuangkan pemikiran yang ada berdasarkan pada
kegiatan yang terjadi setiap hari. Setidaknya itu cukup melenggangkan pikiranku
yang entah kenapa selalu mucul pemikiran – pemikiran aneh dan berbeda dari
kebanyakan orang. Apakah aku ini termasuk orang gila? Mungkin saja demikian.
Tapi seandainya kebaikan maupun kebenaran yang ada dipikiranku dan aku dianggap
gila, maka tidak masalah bagiku. Seperti apa kata Gie, “ Lebih baik terasing
dalam kesendirian dari pada hidup dalam kemunafikan. Aku adalah aku, tidak perlu menjadi orang lain
untuk bisa diterima, cukup menjadi diri sendiri.
Banyak yang tidak sadar pada
tanggal 1 Juni lalu sebenarnya kita memperingati hari bersejarah bagi negara
kita. Ya..., pada tanggal itu 68 tahun yang
lalu Pak Karno menyampaikan pidato didepan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ) yang berjudul Lahirnya Pancasila yang diterima
secara aklamasi. Dari pidato pak karno yang tidak dipersiapkan secara tertulis
itulah akhirnya BPUPKI membentuk panitia sembilan untuk kemudian merumuskan
Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila. Proses selanjutnya dapat kita baca di
buku – buku sejarah sekolah. Adapun konspirasi – konspirasi yang terjadi pada
saat perumusan Pancasila itu hak masing – masing pribadi untuk percaya atau
tidak.
Pancasila, saya rasa tidak asing
bagi mata dan telinga kita. Disetiap upacara senin pagi di sekolah – sekolah
selalu diucapkan. Dapat kita jumpai pula menempel di dinding kantor maupum
kelas. Hal yang jamak kita temui di kantor – kantor pemerintahan. Akan tetapi
sangat disayangkan, kelima sila yang terkandung didalamnya hanya sebatas diucap
dan ditempel. Apalagi belakangan ini ketika demokrasi dijunjung bahkan
didewakan, Pancasila seolah tenggelam oleh demokrasi. Dengan demokrasi yang
diagungkan, Pancasila menjadi penafsiran tersendiri bagi tiap – tiap individu.
Demokrasi menjadi sebuah asas yang mengalahkan asas Pancasila. Demokrasi
menggantikan Pancasila dalam setiap dasar kegiatan berpolitik. Demokrasi seolah
menjadi mantera ampuh untuk membenarkan segala hal. Demonstrasi yang merusak
mengatas namakan demokrasi, penjarahan mengatas namakan demokrasi, bahkan rapat
anggota parlemen menjadi ribut karena sebuah demokrasi. Dimanakah nilai – nilai
Pancasila yang agung yang menjunjung tinggi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
musyawarah dan keadilan?
Apakah Pancasila yang dirumuskan
oleh para pejuang – pejuang dulu hanya sebatas ucapan saja sekarang. Jika para
pencetus Pancasila itu masih hidup, niscaya mereka akan menangis melihat
pengorbanan mereka meletakkan dasar negara diinjak – injak seperti sekarang.
Pengorbanan harta, tenaga, waktu, bahkan nyawa sekalipun mereka berikan demi
kehidupan generasi penerus mereka kelak. Namun, sekarang pengorbanan mereka
menguap tanpa bekas. Alih – alih menjadi manusia Pancasila, kita justru menjadi
manusia munafik yang hanya hafal Pancasila, mampu mengucap Pancasila dengan
keras dan tegas tanpa menerapkannya dalam kehidupan kita sehari – hari. Dimana
nilai ketuhanan ketika ajaran – ajaran sesat, pelacuran, perjudian merajalela?
Apanya yang kemanusiaan jika menggusur warga menggunakan kekerasan, demonstrasi
mengutarakan pendapat disertai perusakan?
Bagian mana yang disebut persatuan ketika ada pemilihan kepala daerah
pihak yang kalah justru menyerang yang menang? Apakah bisa disebut musyawarah
jika rapat parlemen berakhir dengan ricuh? Dimanakah nilai keadilan jika seorang
pencuri sendal dihukum 5 tahun kurungan sementara koruptor ratusan miliar hanya
beberapa bulan saja?
Mungkin nilai Pancasila sudah
terlalu usang untuk jaman yang serba instan dan individualistis seperti
sekarang. Lantas bagian manakah yang perlu dirubah? Apakah Pancasila sebagai
ideologi dan dasar kehidupan bernegara kita perlu dirubah? Yaaaahh... mungkin
sekali waktu Indonesia perlu mencoba sistem kekhalifahan. Toh selama ini pun
Pancasila tidak berarti besar di kehidupan negara kita. Atau mungkin masing –
masing dari kita perlu menanamkan nilai – nilai Pancasila kembali kepada
generasi penerus kita. Boleh saja generasi sekarang menjadi manusia – manusia
munafik ber Pancasila, tapi jangan sampai itu terus mengakar hingga generasi
berikutnya.
Sebagai penutup, mungkin 1 Juni sudah terlupakan
sebagai hari lahir dasar negara kita. Bahkan mayoritas lebih mengenal 30
September yang berdarah dan merupakan noda pada sejarah kita daripada 1 Juni.
Mungkin juga demokrasi sekarang ini menjadi kata – kata ampuh daripada
Pancasila. Tapi diatas itu semua, kita perlu ingat bahwa kita Bangsa Indonesia
adalah manusia Pancasila. Kenapa kita tidak mencoba kembali pada dasar negara
kita?